Selasa, 25 Juni 2013

Artikel Phlebotomy

Ada apa dengan phlebotomy Analis Kesehatan ?

22DES

PENDAHULUAN

Aspek Medikolegal Phlebotomi Bagi Analis Kesehatan
Phlebotomi berkaitan dengan kegiatan mendapatkan specimen darah dari pasien untuk diperiksa secara laboratorium. Didalam tindakan Phlebotomi, seorang phlebotomis perlu mengetahui darah apa yang akan diambil, perlatan apa yang akan dipakai, dibagian anatomi mana mengambilnya, adakah iv-line yang sudah terpasang, bagaimana mencegah infeksi, bagaimana mencegah atau mengurangi rasa sakit, bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pasien termasuk memperoleh persetujuannya, bagaimana prosedur pelaksanaan yang benar agar tepat mengenai vena dan factor keselamatan (safety).
Oleh sebab itu, masalah medikolegal yang dapat ditarik adalah :
  1. Masalah siapa pelaksana phlebotomy (kompetesi dan wewenang).
  2. Bagaimana prosedur standartnya.
  3. Perlukah supervise.
  4. Siapa yang bertanggung jawab atas resiko yang terjadi.
Didalam praktek, phlebotomy diRumah Sakit atau di Laboratorium dapat dilakukan oleh perawat atau analis laboratorium, atau orang yang khusus samplingdilatih untuk itu (phelebotomis).
Kemampuan atau kompetensi diperoleh seseorang dari pendidikan atau pelatihannya, sedangkan wewenang atau authority diperoleh dari penguasa atau pemegang otoritas dibidang tersebut melalui pemberian izin.
Kewenangan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namun adanya kemampuan tidak berarti dengan sendirinya memiliki kewenangan.
Sebagai dokter, perawat dan bidan, kompetensi dalam melakukan tindakan phlebotomy telah dimilikinya, dan kewenangan melakukannya pun telah dimilikinya, tanpa disebutkan secara eksplisit didalam sertifikasi kompetensinya dan atau surat izin praktek profesinya. Sedangkan bagi analis laboratorium dan teknisi phlebotomis kompetensi mereka diperoleh dari pendidikan menengah atau pelatihan, atau kursus, sehingga kompetensinya harus dinyatakan secara tegas didalam sertifikat kompetensinya.
Sertifikat kompetensi tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang terakreditasi, atau oleh lembaga sertifikasi tertentu. Pendidikan analis laboratorium dan phlebotomis bukanlah pendidikan profesi bukan pula pendidikan vokasi.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum diatur tenaga kesehatan yang disebut sebagai teknisi phlebotomis, oleh karena itu teknisi phlebotomis belum sah sebagai salah satu tenaga kesehatan. Ada kecenderungan bahwa suatu pekerja dibidang kesehatan akan lebih mudah diakui sebagai tenaga kesehatan apabila pendidikannya setidaknya mencapai D III. Hal ini perlu dilakukan agar konsumen kesehatan terjamin kepentingan dan keselamatannya.
Sementara itu analis kesehatan telah merupakan tenaga kesehatan sebagaimana diatur dalam PP 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, meskipun belum ada Permenkes yang mengaturnya lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan kewenangannya melakukan phlebotomy. Dengan demikian kewenangan yang dilakukan oleh teknisi phlebotomis ataupun analis kesehatan belum diakui sebagai suatu kewenangan yang mandiri, namun harus dianggap sebagai kewenangan yang memerlukan supervisi dari keprofesian yang menjadi “pemeberi kerjanya” sebagai penanggung jawabnya. Etika dan standart pekerjaannya pun harus ditetapkan, diatur dan ditegakkan oleh penanggung jawabnya.
Menurut UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa :
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai  pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi (Pasal 61 ayat 3).
Lalu dalam penjelasan pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan profesi merupakan pendidikan tertinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan dengan persyaratan keahlian khusus.Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan pendidikan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maximal setara dengan program sarjana.
Etika Profesi dan Standar Profesi
Etika profesi dibuat oleh organisasi profesi, atau tepatnya masyarakat profesi, untuk mengatur sikap dan tingkah lakupara anggotanya, terutama berkaitan dengan moralitas. Etika profesi di bidang kesehatan mendasarkan ketentuan – ketentuan di dalamnya kepada etika umum dan sifat – sifat khusus moralitas profesi pengobat pada umumnya, seperti patient autonomy, beneficence, non maleficence, justice, truth telling, privacy, confidentiality, loyality,dll. Etika profesi bertujuan untuk mempertahankan keluhuran profesi dan melindungi masyarakat yang berhubungan dengan profesi tersebut. Etika profesi umumnya dituliskan dalam bentuk Kode etik dan pelaksanaanya diawasi oelh sebuah Majelis atau Dewan Kehormatan Etik. Standar Profesi terdiri dari 3 bagian, yaitu :
  1. Standar kompetensi yang telah dibahas diatas sebagai bagian dari persyaratan profesi.
  2. Standar perilaku yang sebagian diatur dalam kode etik.
  3. Standar pelayanan.
Standar pelayanan yang dalam UU Kesehatan disebut sebagai standar profesi, diartikan sebagai pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
UU No. 18 tahun 2002 tentang  IPTEK menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Kode Etik dibentuk oleh Organisasi profesi untuk menegakkan etika, pelaksanaan kegiatan profesi serta menilai pelanggaran profesi yang dapat merugikan masyarakat atau kehidupan profesionalisme dilingkungannya (Pasal 25). Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan landasan dibidang profesi untuk menjamin perlindungan masyarakat atas penyimpangan pelaksanaan profesi.
DASAR
  1. Dari aspek medicolegal  bahwa pelaksanaan pengambilan darah (phlbotomy ) belum diatur secara explisit melalui permenkes atau UU Kesehatan  sehingga  analis kesehatan tidak memiliki kewenangandalam usaha phlebotomis dan bukan  bagian dari kompetensi  analis kesehatan.
  2. Dokter, perawat dan bidan, merupakan tenaga kesehatan yang diberikan kewenangan dan  telah memiliki kompetensi phlebotomy sebagai bagian dari tindakan infasive terhadap pasiennya. Dengan demikian dokter, perawat,  bidan telah diberi   kewenangan melakukan phlebotomy.
  3. Bahwa analis kesehatan dalam ketentuan SUK( Standart  Uji Kompetensi ) Analis kesehatan oleh BNSP ( Badan Nasional Standar Profesi ) danLSP Telapi sebagai badan standar sertifikasi analis kesehatan  tidak menyertakan phlebotomy sebagai bagian dari kompetensi analis kesehatan.
  4. PP 32 TAHUN 1996, TENTANG TENAGA KESEHATAN,
  5. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 61 ayat 3
  6. UU No, 18 tahun 2002. tentang IPTEK pasal 25.
MEMPERHATIKAN
  1. Uraian tugas standar pekerjaan seorang analis dalam tugasnya sehari hari dituntut untuk melakukan  analisa sampel secara profesional dan akuntabel     ( presisi dan acurasi yang tinggi )
  2. Bimbingan Akreditasi RS tahun 2010   merekomendasikan  uraian pekerjaan analis kesehatan yang mengharuskan analis bekerja sesuai dengan kompetensi masing-masing, dan  konsentrasi terhadap urusan  analisa untuk menghindari adanya  kesalahan .
  3. Kebutuhan tenaga analis kesehatan  yang secara standar akreditasi  RS masih kurang.
  4. Perlunya efesiensi dan  penyelarasan tugas analis kesehatan sesuai Tupoksi
MENYIMPULKAN
  1. Tindakan phlebotomy bukan bagian dari kompetensi analis kesehatan sehingga pelaksanaan pengambilan darah (phlebotomy) yang saat ini dilakukan oleh analis kesehatan di RSKD bukan tugas analis kesehatan tetapi merupakan tugas tambahan  untuk  membantu keterbatasan perawat dan bidan ruangan. (Dalam hal tersebut  Analis kesehatan harus telahmemiliki sertifikat phlebotomy dan mendapat kewenawangan dari  pimpinan)
  2. Bahwa analis kesehatan  sesuai dengan tupoksinya  menganalisa sampel klinik, tidak memiliki keharusan  dalam melaksanakan pengambilan darah ke ruangan-ruangan .
  3. Perlunya memberikan  pemahaman yang jelas kepada  Dokter, perawat, Bidan bahwa pengambilan darah ke pasien ( plebotomy) merupakan bagian dari tupoksinya. ( sama dengan tindakan invasif lainnya terhadap pasien).
  4. 4.      Bahwa  tuntutan terhadap plebotomy sepenuhnya 24 jam oleh analis kesehatan tidak memiliki dasar  hukum ( aspek legalitas ) sehingga  ke depan  sebaiknya  semua pengambilan sampel darah (plebotomy)dikembalikan kepada Dokter, perawat, bidan ruangan masing-masing sesuai tupoksinya.
Balikpapan,  Juni 2010,
Disadur oleh ;
Amat Rajasa, S.Si.
Bpp, 22 Desember 2011
Perkembangan terbaru sejak Oktober 2011 PATELKI menggagas pelatihan pelatih phlebotomy untuk  sertifikasi bagi Analis Kesehatan ,dilain pihak usulan phlebotomy untuk dijadikan  sebagai kurikulum pendidikan Analis segera disetujui  dan diwujudkan agar lulusan analis kesehatan kedepan secara otomatis sudah memiliki kompetensi phlebotomy. jadi tidak lagi perlu sertifikasi donk…, Lalu mengarah kemana  analis ke depan ? kita tunggu saja apa yang akan terjadi…….
Salam .
Amat Rajasa.
WEB PRODUCT LABORATORIUM YG DIANJURKAN :

0 komentar:

Posting Komentar